
Pembungaan Dan Penyerbukan Buah Naga
Fenologi Pembungaan Tanaman Buah Naga Fenologi pembungaan umumnya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar, seperti lamanya…
Jeruk nipis (Citrus aurantifolia, Swingle) merupakan tanaman berhabitus pohon kecil dengan cabang yang lebat tetapi tidak beraturan dan tinggi berkisar antara 1,5 sampai 5 meter (Gambar 1). Perakaran tanaman kuat, cukup dalam, dan dapat tumbuh dengan baik pada segala jenis tanah. Cabang dan rantingnya berduri pendek, kaku, dan tajam (Gambar 2A) (Rukmana, 2003).
Gambar 1. Pohon jeruk nipis (Sumber: Dokumentasi pribadi, 2017)
Daun jeruk nipis, yang dapat dilihat pada Gambar 2B, memiliki susunan berselang-seling, berbentuk jorong sampai bundar, pangkalnya bulat, dan ujungnya tumpul. Daun jeruk nipis berukuran panjang 4-8 cm dan lebar 2- 5 cm. Tepi daunnya bergerigi kecil dan tangkai daunnya bersayap sempit (Sarwono, 2001). Permukaan daun bagian atas berwarna hijau tua mengkilap, sedangkan bagian bawahnya berwarna hijau muda (Rukmana, 2003).
Buah jeruk nipis (Gambar 2C) memiliki rasa yang sangat asam, berbentuk bulat sampai bulat telur, dan berkulit tipis. Diameter buahnya sekitar 3 sampai 6 cm dan permukaannya memiliki banyak kelenjar. Buah jeruk nipis memerlukan waktu 5-6 bulan untuk berkembang. Buah yang masak pohon akan berubah warna dari hijau menjadi kuning dan jeruk akan jatuh ke tanah setelah mencapai tahap masak penuh (Sarwono, 2001).
Bunga jeruk nipis (Gambar 2D) berbentuk tandan pendek, berada di ketiak daun pada pucuk yang baru merekah. Banyak bunga per tandan sekitar 1-10 kuntum. Mahkota bunga sebanyak 4-6 helai dan panjangnya sekitar 8-12 cm. Benang sarinya berjumlah antara 20 sampai 25 utas. Tangkai putiknya mudah dibedakan dengan bakal buah (Sarwono, 2001).
Jeruk nipis tumbuh baik pada iklim tropis. Temperatur optimal untuk tanaman ini adalah 25 sampai 30oC dan kelembaban yang ideal adalah 70 sampai 80%. Di Indonesia, jeruk nipis dapat berbunga dan berbuah secara serentak, serta dapat berlangsung sepanjang tahun (Sarwono, 2001). Menurut Rukmana (2003), klasifikasi tanaman jeruk nipis adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Rutales
Suku : Rutaceae
Marga : Citrus
Jenis : Citrus aurantifolia, Swingle
Gambar 2. Bagian-bagian tanaman jeruk nipis (Sarwono, 2001) Keterangan: (A) Batang jeruk nipis yang berduri; (B) Daun jeruk nipis;(C) Buah jeruk nipis; (D) Bunga jeruk nipis yang berbentuk tandan
Bagian-bagian tanaman jeruk nipis dapat dimanfaatkan untuk mengobati berbagai penyakit, antara lain batang, bunga, buah, dan daunnya. Getah batang jeruk nipis yang ditambahkan sedikit garam dapat digunakan sebagai obat sakit tenggorokan. Buah jeruk nipis banyak digunakan untuk menurunkan panas, obat batuk, peluruh dahak, menghilangkan ketombe, influenza, antiinflamasi, antiseptik, dan obat jerawat (Kharismayanti, 2015). Daun dan bunga jeruk nipis dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi, batuk, lendir tenggorokan, demam, panas pada malaria, jerawat, dan ketombe (Triayu, 2009).
Jeruk nipis mengandung unsur-unsur senyawa kimia yang bermanfaat, seperti asam sitrat, asam amino, minyak atsiri, damar, glikosida, asam sitrun, lemak, kalsium, fosfor, besi, belerang vitamin B1 dan C (Lauma dkk., 2015). Daunnya sendiri juga memiliki banyak kandungan senyawa bioaktif, seperti alkaloid, flavonoid, terpenoid, saponin, tanin, dan steroid. Senyawa-senyawa tersebut memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri dengan mekanisme hambatnya masing-masing, yang menyebabkan daun jeruk nipis mempunyai sifat antibakteri, antara lain dengan cara merusak dinding sel, merusak membran sitoplasma sel, mengubah struktur molekul protein dan asam nukleat, serta menghambat kerja enzim bakteri (Pelczar dan Chan, 1986). Senyawa fenol dan flavonoid juga dapat bersifat sebagai antioksidan (Fajarwati, 2013). Daun jeruk nipis bermanfaat untuk mengobati influenza dan malaria, sedangkan infusanya dapat mengobati demam yang disertai jaundice (timbulnya warna kuning pada kulit dan bagian putih mata karena tingginya kadar pigmen empedu), radang tenggorokan, dan dapat meringankan sakit kepala (Kharismayanti, 2015).
Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan metabolit sekunder yang terbesar. Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Mekanisme antibakterinya adalah dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel (Miftahendarwati, 2014).
Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa polar yang umumnya mudah larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, dan aseton. Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa fenol yang mempunyai sifat efektif dalam menghambat pertumbuhan virus, bakteri, dan jamur. Senyawa-senyawa flavonoid umumnya bersifat antioksidan dan banyak digunakan sebagai bahan baku obat-obatan (Miftahendarwati, 2014).
Flavonoid bekerja sebagai antibakteri dengan cara menghambat sintesis asam nukleat bakteri dan mampu menghambat motilitas bakteri. Flavonoid bekerja dengan cara mengganggu pengikatan hidrogen pada asam nukleat sehingga proses sintesis DNA dan RNA terhambat. Flavonoid juga dapat mencegah pertumbuhan bakteri dengan cara mengganggu kestabilan membran sel dan metabolisme energi bakteri. Ketidakstabilan ini terjadi akibat adanya perubahan sifat hidrofilik dan hidrofobik membran sel, sehingga fluiditas membran sel berkurang yang berakibat pada gangguan pertukaran cairan dalam sel dan menyebabkan kematian sel bakteri (Miftahendarwati, 2014).
Terpenoid
Terpenoid merupakan senyawa kimia yang terdiri dari beberapa unit isopren. Kebanyakan terpenoid mempunyai struktur siklik dan mempunyai satu gugus fungsi atau lebih. Terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat dalam sitoplasma sel tumbuhan. Senyawa terpenoid ini adalah salah satu senyawa kimia bahan alam yang banyak digunakan sebagai obat. Sudah banyak peran terpenoid dari tumbuh-tumbuhan yang diketahui seperti menghambat pertumbuhan tumbuhan pesaingnya dan sebagai insektisida terhadap hewan tinggi (Ramadani, 2016).
Terpenoid merupakan komponen yang biasa ditemukan dalam minyak atsiri. Sebagian besar terpenoid mengandung atom karbon yang jumlahnya merupakan kelipatan lima. Terpenoid mempunyai kerangka karbon yang terdiri dari dua atau lebih unit C5 yang disebut unit isopren. Berdasarkan jumlah atom C yang terdapat pada kerangkanya, terpenoid dapat dibagi menjadi hemiterpen dengan 5 atom C, monoterpen dengan 10 atom C, seskuiterpen dengan 15 atom C, diterpen dengan 20 atom C, triterpen dengan 30 atom C, dan seterusnya sampai dengan politerpen dengan atom C lebih dari 40 (Ariefta, 2012).
Mekanisme terpenoid sebagai antibakteri adalah bereaksi dengan porin (protein transmembran) pada membran luar dinding sel bakteri, membentuk ikatan polimer yang kuat sehingga mengakibatkan rusaknya porin. Rusaknya porin yang merupakan pintu keluar masuknya senyawa akan mengurangi permeabilitas dinding sel bakteri yang akan mengakibatkan sel bakteri akan kekurangan nutrisi, sehingga pertumbuhan bakteri terhambat atau mati (Cowan, 1999).
Saponin
Saponin merupakan jenis glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan dan sifatnya polar. Saponin memiliki karakteristik berupa buih, sehingga ketika direaksikan dengan air dan dikocok maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama. Saponin mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter (Pradipta, 2011).
Saponin dibagi menjadi 2, yaitu saponin steroid dan saponin triterpenoid. Saponin steroid tersusun atas inti steroid (C 27) dengan molekul karbohidrat, yang jika dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang dikenai sebagai saraponin. Tipe saponin ini memiliki efek antijamur. Saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul karbohidrat, yang jika dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang disebut sapogenin. Saponin merupakan suatu senyawa yang mudah dikristalkan lewat asetilasi sehingga dapat dimurnikan. Tipe saponin ini adalah turunan β-amyirine (Pradipta, 2011).
Mekanisme kerja saponin sebagai antibakteri adalah menurunkan tegangan permukaan sel bakteri sehingga terjadi kebocoran sel bakteri dan mengakibatkan keluarnya senyawa intraseluler. Saponin akan berdifusi melalui membran luar dan dinding sel yang rentan, lalu mengikat membran sitoplasma dan mengganggu dan mengurangi kestabilan sel bakteri. Hal ini menyebabkan sitoplasma bocor keluar dari sel yang mengakibatkan kematian bakteri (Ngajow dkk., 2013).
Tanin
Tanin merupakan senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara menghambat enzim reverse transkriptase dan DNA topoisomerase yang berfungsi pada proses transkripsi dan replikasi, sehingga sel bakteri tidak dapat terbentuk. Tanin juga memiliki aktivitas antibakteri yang berhubungan dengan kemampuannya untuk menginaktifkan adhesin sel mikrobia, menginaktifkan enzim, dan menggangu transport protein pada lapisan dalam sel bakteri. Tanin juga mempunyai target pada polipeptida dinding sel sehingga pembentukan dinding sel menjadi kurang sempurna. Hal ini menyebabkan sel bakteri menjadi lisis karena tekanan osmotik maupun fisik sehingga sel bakteri akan mati (Ngajow dkk., 2013).
Steroid
Steroid adalah suatu golongan senyawa triterpenoid yang mengandung inti siklopentana perhidrofenantren, yaitu dari tiga cincin sikloheksana dan sebuah cincin siklopentana (Harborne, 1987). Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpen, yaitu lanosterol dan sikloartenol. Pada umumnya, steroid tumbuhan berasal dari sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Nuraini, 2007).
Mekanisme antibakteri steroid adalah dengan cara berhubungan dengan membran lipid pada sel bakteri dan menyebabkan kebocoran pada liposom (penyusun dinding sel bakteri) (Madduluri dkk., 2013). Steroid juga dapat berinteraksi dengan membran fosfolipid sel bakteri yang bersifat permeabel terhadap senyawa-senyawa lipofilik sehingga menyebabkan integritas membran sel bakteri menurun serta morfologi membran selnya berubah yang akhirnya menyebabkan sel bakteri rapuh dan lisis (Bontjura dkk., 2015).
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, sehingga ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan. Faktor utama yang dipertimbangkan dalam memilih pelarut adalah selektivitas terhadap senyawa yang diinginkan, kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut, ekonomis, ramah lingkungan, serta keamanan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).
Jenis pelarut dan tingkat kepolaran pelarut yang dipakai dalam proses ekstraksi dapat memengaruhi proporsi senyawa-senyawa kandungan yang tersari (Lestiani, 2008). Pelarut berperan dalam menghasilkan rendemen yang tinggi jika pelarut yang digunakan memiliki sifat kepolaran yang sama dengan sebagian besar komponen yang terdapat pada biomassa sel. Dalam hal ekstrak total, cairan pelarut yang dipilih adalah yang dapat melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).
Pelarut yang sering digunakan pada metode maserasi adalah etanol. Etanol mempunyai gugus karboksil (alkohol) yang polar dan gugus karbonil (keton) yang nonpolar, sehingga etanol merupakan pelarut universal yang dapat menarik senyawa polar, yaitu alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin, serta senyawa nonpolar, yaitu terpenoid dan steroid. Etanol juga memiliki daya ekstraksi yang luas sehingga semua metabolit sekunder dapat tersari dalam tiga kali maserasi (Saifudin, 2014). Pelarut etanol juga dipilih karena tidak beracun sehingga cenderung aman atau tidak berbahaya, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% ke atas, absorbsinya baik, dan mempunyai titik didih yang rendah, yaitu 78,3oC (Sa’adah dan Nurhasnawati, 2015).
Konsentrasi pelarut etanol yang dipilih adalah etanol 70%. Etanol 70% merupakan pelarut yang terdiri dari 70% etanol dan 30% air. Etanol termasuk pelarut polar dengan konstanta dielektrik 33 dan air termasuk pelarut polar dengan konstanta dielektrik 80,4 (Moulana dkk., 2012; Young dan Freedman, 2000). Nilai konstanta dielektrik (ε) berbanding lurus dengan besarnya polaritas suatu pelarut (Saifudin, 2014). Semakin besar nilai konstanta dielektriknya, maka semakin polar pelarut tersebut (Rafsanjani dan Putri, 2015).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Tiwari dkk. (2011), meskipun etanol termasuk dalam pelarut yang polar, tetapi etanol mampu menarik senyawa aktif yang mempunyai sifat nonpolar, seperti polifenol, steroid, dan terpenoid. Hal itu dikarenakan kemampuan etanol yang mudah melakukan penetrasi ke membran sel, sehingga dapat mengekstrak senyawa intrasel pada bahan atau simplisia. Oleh karena itu, etanol 70% yang dipilih sebagai pelarut untuk mengekstraksi daun jeruk nipis.
Deskripsi Bakteri Uji (Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa)
Staphylococcus epidermidis (Gambar 3), merupakan bakteri Gram positif yang berbentuk kokus atau bulat, bersifat aerob atau anaerob fakultatif, dan termasuk Staphylococcus dengan koagulasi negatif. S. epidermidis tidak membentuk spora dan non-motil. S. epidermidis mempunyai diameter 0,8 – 1,0 µm, biasanya berwarna putih atau krem, dan tumbuh cepat pada suhu optimum 37ºC. Koloninya tumbuh menggerombol menyerupai buah anggur berbentuk bulat, halus (entire), menonjol, berkilau, dan tidak menghasilkan pigmen (Jawetz dkk., 2001).
Gambar 3. Staphylococcus epidermidis (Sumber: Samek dkk., 2014)
Menurut Breed dkk. (1957), klasifikasi bakteri S. epidermidis adalah sebagai berikut:
Kerajaan: Eukariota
Divisi : Protophyta
Kelas: Schizomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Micrococcaceae
Marga : Staphylococcus
Jenis : Staphylococcus epidermidis
S. epidermidis merupakan flora normal pada kulit dan membran mukosa manusia. S. epidermidis juga terdapat pada bisul dan luka, serta dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan (Jawetz dkk., 2001). Dahulu organisme ini jarang mengakibatkan infeksi yang signifikan, tetapi peningkatan penggunaan implan kateter dan alat prostetik menyebabkan S. epidermidis menjadi sumber atau penyebab infeksi nosokomial. Infeksi S. epidermidis sebagian besar diperoleh dari rumah sakit (Ryan, 2010).
Pseudomonas aeruginosa (Gambar 4), merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang lurus atau lengkung, berukuran sekitar 0,5-1 x 3-4 µm, ditemukan tunggal, berpasangan, dan kadang-kadang membentuk rantai pendek, non-spora, tidak mempunyai selubung (sheath), serta mempunyai flagel. Bakteri ini kadang-kadang memiliki dua atau tiga flagel, sehingga ia selalu bergerak. P. aeruginosa merupakan bakteri aerob atau fakultatif aerob (cenderung aerob), yang dapat tumbuh dengan mudah pada banyak jenis medium pembiakan, karena memiliki kebutuhan nutrisi yang sangat sederhana. P. aeruginosa membentuk koloni halus bulat dan memiliki struktur pinggir koloni yang tidak rata (undulate), serta mengeluarkan bau manis atau menyerupai anggur yang dihasilkan aminoasetafenon. P. aeruginosa juga menghasilkan piosianin, yaitu pigmen kebiru-biruan yang tak berfluoresensi bila diinkubasi pada suhu 35-37oC, tetapi jika diinkubasi pada suhu 20-30oC dapat dihasilkan fluoresensi (Jawetz dkk., 2001).
Gambar 4. Pseudomonas aeruginosa (Sumber: Potera, 2012)
P, aeruginosa tersebar luas di alam dan biasanya hidup di lingkungan yang lembab. Dalam jumlah kecil, bakteri ini terdapat pada flora usus normal dan kulit manusia. P. aeruginosa dapat menyebabkan infeksi pada luka bakar dan menghasilkan nanah warna hijau biru, meningitis jika masuk melalui fungsi lumbal, dan infeksi saluran kencing jika masuk melalui kateter. P. aeruginosa juga dapat menyerang saluran pernafasan, seperti komplikasi cystic fibrosis da pneumonia nekrotika jika respirator yang digunakan tercemar (Jawetz dkk., 2001).
Menurut Breed dkk. (1957), klasifikasi P. aeruginosa adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Eukariota
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Pseudomonadales
Suku : Pseudomonadaceae
Marga : Pseudomonas
Jenis : Pseudomonas aeruginosa