Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Alergi

Terjadinya alergi ditentukan faktor atopi, yaitu predisposisi genetik seseorang untuk memproduksi antibodi IgE dalam tubuhnya bila terpajan alergen yang terdapat di lingkungannya. Atopi tidak selalu menimbulkan gejala alergi, tetapi cenderung untuk berkembang menjadi penyakit alergi. Atopi dapat diketahui dengan pemeriksaan IgE (Bousquet et al. 2008). Ditemukannya antibodi IgE spesifik terhadap alergen tertentu merupakan uji terpenting dalam diagnosis dan penatalaksaan penyakit alergi dalam upaya pencegahan. Pemeriksaan adanya IgE dapat dilakukan dengan cara uji tusuk kulit (skin prict test) dan pemeriksaan darah cara radioallergosorbent test (RAST) (Rusznak & Davies 1998; Jarvis & Burney 2004; Koshak 2006)

Diagnosis penyakit alergi terutama ditegakkan berdasarkan wawancara (anamnesis) tentang riwayat penyakit. Anamnesis yang cermat merupakan kunci keakuratan diagnosis, meliputi riwayat timbulnya gejala, frekuensi serangan, intensitas gejala, riwayat berbagai faktor pencetus, dan kondisi rumah serta lingkungan (Church & Holgate 1995). Pada pemeriksaan fisis rinitis alergi dapat ditemukan rinore atau ingusan, penurunan atau hilangnya indera penciuman.

Pemeriksaan fisis pasien asma pada masa di luar serangan umumnya normal. Pada saat serangan dapat ditemukan sesak napas disertai bunyi napas mengi yang khas (Rabson et al. 2005). Setiap pasien yang dicurigai menderita asma atau rinitis alergi harus dievaluasi adanya sensitisasi terhadap alergen dengan cara uji tusuk kulit guna mengetahui faktor pencetus yang ada di lingkungannya (Church & Holgate 1995). Uji tusuk kulit pertama kali diperkenalkan oleh Lewis dan Grant pada tahun 1924, namun baru dipergunakan secara luas setelah dimodifikasi oleh Pepys pada tahun 1974. Ekstrak alergen dan cairan kontrol diteteskan pada permukaan volar lengan bawah. Bagian superfisial kulit ditusuk menggunakan jarum khusus tanpa berdarah.

Untuk setiap alergen harus digunakan jarum yang berbeda untuk menghindari tercampurnya cairan uji. Dalam melakukan uji tusuk kulit, sebagai kontrol positif dipakai histamin dan untuk kontrol negatif dipakai bahan pelarut (Mygind et al. 1994). Tes dibaca setelah 15 menit, reaksi positif dinyatakan adanya kemerahan dan bentol pada kontrol positif histamin dengan minimal diameter 3 mm lebih besar dibanding dengan kontrol negatif. Keunggulan uji tusuk kulit adalah sederhana, pembacaan dapat dilakukan dengan cepat, mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi serta dapat menguji sejumlah besar alergen sekaligus (Rusznak & Davies 1998; Jarvis & Burney 2004).

RAST merupakan pemeriksaan darah yang akurat untuk mengukur kadar IgE spesifik dalam darah. Umumnya, terjadinya alergi akan ditandai dengan adanya peningkatan kadar IgE yang spesifik. Pada RAST, alergen akan ditempatkan di suatu paper discs atau polyurethane caps dan kemudian direaksikan dengan sampel serum yang diambil dari pembuluh darah vena pasien. Pengikatan IgE spesifik terhadap alergen tersebut terdeteksi melalui enzyme linked-human IgE antibody pada reaksi kolorometrik. Pemeriksaan RAST spesifik untuk menentukan alergen penyebab reaksi alergi, digunakan bila uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan pada orang-orang dengan penyakit kulit tertentu seperti ekzema berat, atau pada orang yang mendapat terapi obat-obatan yang mengganggu akurasi hasil uji tusuk kulit. Keuntungan RAST tidak perlu menghentikan obat-obat tertentu dan tidak ada risiko anafilaksis, hanya harganya lebih mahal dibanding uji tusuk kulit. Meski demikian, hasil RAST perlu diinterpretasikan bersama dengan hasil pemeriksaan alergi lainnya seperti anamnesis dan uji tusuk kulit untuk memperoleh diagnosis yang lebih baik (Chapel et al. 2006)

Baca : Rinitis Alergi dan Faktor Resiko Menurut Beberapa Ahli

Tag: , , ,

Diposting oleh Ulya


Leave a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *